JAKARTA, KOMPAS — Minimnya komunikasi strategis dan informasi dari pihak China terkait proyek-proyek kerja sama antara China dan negara-negara ASEAN menimbulkan berbagai prasangka. Tak hanya itu, masalah tersebut juga bisa mengancam kelangsungan kerja sama China di ASEAN.
Demikian antara lain sorotan yang mengemuka pada diskusi bertajuk ”Membangun Komunitas Global dengan Masa Depan Bersama: Kerja Sama China dan ASEAN”, yang digelar Perwakilan Tetap China untuk ASEAN di Jakarta, Kamis (26/10/2023). Diskusi ini dihadiri perwakilan media massa dan lembaga-lembaga kajian.
Dalam diskusi tersebut, Editor Senior The Jakarta Post Kornelius Purba mengangkat peristiwa kerusuhan anti-Jepang di Indonesia dan Asia Tenggara pada Januari 1974,yang dikenal dengan peristiwa Malari. Ia menyebut, peristiwa itu terjadi karena kesalahpahaman dan minimnya komunikasi di tengah meluasnya investasi Jepang di Asia Tenggara.
”Dulu sewaktu Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta, terjadi kerusuhan massa karena persepsi negatif masyarakat terhadap investasi Jepang di Indonesia. Sentimen serupa mencuat di Filipina dan Malaysia,” ujar Kornelius Purba.
Peristiwa tersebut bisa dijadikan pelajaran oleh China dalam menjalin kerja sama dengan negara-negara ASEAN saat ini. Sebanyak enam pembicara dalam diskusi bergiliran menyampaikan hal-hal penting dalam relasi China-ASEAN dan China-Indonesia. Setidaknya empat pembicara menggarisbawahi masalah minimnya komunikasi sebagai penghambat hubungan bilateral Indonesia-China.
Situasi semakin buruk dengan ketiadaan penjelasan tentang kawasan industri besar yang dibangun dalam kerja sama China-Indonesia di daerah-daerah. Ditambah lagi dalam pelaksanaannya banyak tenaga kerja asing dari China terlibat dalam proyek-proyek besar tersebut.
”Memang dari segi produktivitas kita akui tenaga kerja kita kalah produktif. Di sisi lain, tidak ada penjelasan dan informasi terkait hal-hal yang menjadi isu publik di Indonesia terkait kerja sama dan proyek besar China di Indonesia,” kata Kornelius.
Menurut Kornelius Purba, pihak China tidak sadar bahwa koordinasi pemerintah pusat-provinsi-kabupaten dan kota di Indonesia tidak sekuat di China. Dalam sistem pemerintahan di China, keputusan dari pusat pasti dijalankan saksama hingga level pemerintahan terendah, termasuk dalam hal investasi dan pelaksanaan proyek-proyek penting.
Selama puluhan tahun sejak Perang Dingin tahun 1960-an hingga kini, berbagai informasi tentang China dan investasi China di ASEAN lebih banyak datang dari media atau sumber dari negara-negara Barat. Informasi tersebut tentu saja mengedepankan kepentingan Barat terhadap China dan Asia Tenggara.
Sejak Perang Dingin tahun 1960-an hingga kini, berbagai informasi tentang China dan investasi China di ASEAN lebih banyak datang dari media atau sumber dari negara-negara Barat.
Sebaliknya, informasi tentang Indonesia dan Asia Tenggara di China pun kebanyakan berasal dari sumber-sumber Barat.
Berbagai informasi tentang proyek-proyek strategis, seperti kawasan industri di Morowali, Sulawesi Tengah, dan Weda Bay di Halmahera, Maluku Utara, nyaris tidak diketahui masyarakat. Informasi yang beredar adalah hal-hal negatif di media sosial.
Padahal, proyek-proyek tersebut menghasilkan devisa besar bagi negara dan di tingkat lokal membuka kesempatan kerja bagi tenaga kerja Indonesia.
Namun, minimnya informasi dan di sisi lain banyak informasi negatif dari sumber yang tidak jelas,menimbulkan prasangka dan kesenjangan. Salah satu akibatnya, pada Januari 2023, terjadi kerusuhan yang mengakibatkan korban jiwa di salah satu kawasan industri di Morowali, Sulawesi Tengah.
Meski minim komunikasi dan kampanye informasi, Kornelius mengakui bahwa beberapa tahun terakhir, para diplomat China semakin terbuka dan komunikatif dalam berhubungan dengan media massa di Indonesia. ”Mereka sekarang sudah lebih terbuka dan mau berdiskusi dua arah serta menerima masukan,” kata Kornelius membandingkan dengan situasi dua puluh tahun silam.
Kuasa Usaha Perwakilan Tetap China untuk ASEAN Fu Fengshan menyambut baik berbagai masukan tentang upaya membuka komunikasi dan memperkuat kehumasan untuk memperkuat hubungan antarwarga (people-to-people) dan menghapus prasangka dari dua belah pihak.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) M Habib Abiyan Dzakwan menyampaikan pentingnya bisa saling memahami. Upaya China membangun kemajuan ekonomi bersama yang inklusif harus dihargai. Namun, langkah tersebut harus diimbangi dengan membangun saling memahami dan membuka ruang bagi perbedaan sikap.
Mengenai hal tersebut, Fu menyatakan komitmen untuk membangun masa depan bersama serta saling ketergantungan China-ASEAN dan negara-negara sahabat di kawasan. ”Bagi China, dalam hubungan luar negeri tidak ada negara besar atau negara kecil. Semua adalah mitra untuk kemajuan bersama dan kesetaraan. Persahabatan lebih penting daripada mengejar keuntungan ekonomi semata,” kata Fu.
Dalam filosofi Tionghoa, menciptakan harmoni dan kestabilan adalah dasar dari perilaku dalam kehidupan bersama. ”Arah pembangunan dan kerja sama China-ASEAN menuju pembangunan dalam situasi damai dan semakin ramah lingkungan,” ujar Fu.
”Hal itu mencakup keterbukaan dalam kerja sama, kesetaraan dan keadilan, harmoni dan saling mengakui eksistensi serta keberagaman disertai saling memahami, dan terakhir, mengedepankan persatuan dan kerja sama karena dunia ini sangat luas untuk berbagai bentuk kerja sama,” jelas Fu.
Sumber : KOMPAS