Beberapa waktu lalu, salah satu situs berita terkemuka di tanah air menurunkan laporan yang sangat mengagetkan. Maskapai flag carrier asal Italia, Alitalia dan maskapai flag carrier asal Spanyol, Iberia, bangkrut dan kolaps.

Salah satu faktor di balik fenomena itu adalah bisnis maskapai di sana terancam oleh transportasi darat semisal kereta api. Ini menggelikan tapi kereta api di Eropa memang pas untuk menjadi alternatif bagi harga tiket penerbangan yang mahal karena lonjakan harga avtur.

Sebagai gambaran, avtur berkontribusi 40% terhadap total harga tiket. Dalam dua tahun terakhir, harga minyak melesat dari rata-rata US$ 90/barel menjadi US$ 120/barel.

Maka tidak heran harga tiket pesawat menjadi mahal. Tidak hanya di dunia, melainkan juga di Indonesia kendati ada tren penurunan harga minyak dunia.

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas nasib bisnis maskapai penerbangan domestik, utamanya di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra yang merupakan rute ‘gemuk’ maskapai di Indonesia. Rute Jakarta-Surabaya hingga Jakarta-Medan merupakan incaran maskapai karena segmen penumpang udara kebanyakan businessman dan pegawai pemerintah yang anggaran perjalanannya sudah ada untuk satu tahun berjalan.

Ilustrasi rute ‘gemuk’ di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra

Saya mengambil contoh rute ‘gemuk’ sebelum tahun 2020 atau era pandemi Covid-19. Saat itu, frekuensi penerbangan masih normal.

Gambarannya dua pemain besar bisnis maskapai penerbangan, Garuda Indonesia dan Lion Air, memiliki frekuensi yang beda tipis untuk sejumlah rute. Misalnya Jakarta-Surabaya pada tahun 2019 bisa mencapai 15 kali per hari atau Jakarta-Palembang bisa sebanyak lima kali per hari. 

Jumlah itu belum ditambah maskapai-maskapai lain seperti Citilink, Batik Air, Sriwijaya Air, Super Air Jet, dan Pelita Air milik Pertamina. Semua ‘menyerbu’ kota-kota di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra.

Nah, beberapa tahun yang akan datang, jalan tol Trans Jawa dari barat hingga ke Banyuwangi akan tersambung. Pelayanan kereta api juga kian membaik.

Ini yang saya khawatirkan akan menjadi ancaman bagi kehidupan maskapai rute Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Apakah kegelapan dunia maskapai penerbangan akan menjadi momok masa depan?

Apalagi jumlah penumpang udara di Indonesia sampai dengan saat ini menggantungkan pencapaian revenue dan kargo di rute-rute Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Ditambah lagi fakta kalau penerbangan yang berawal dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta bisa 60% traffic penumpang yang menerbangi rute-rute ‘gemuk’ tersebut.

Prediksi saya memang traffic penumpang udara di Pulau Jawa dan Pulau Sumatra akan terganggu jumlahnya, utamanya rute-rute pendek yang mana telah tersedia jalan tol dan kereta api. Misalnya Jakarta-Yogyakarta, Jakarta-Semarang, hingga Jakarta-Palembang.

Namun, kita juga harus membedah segmen market ke kota-kota bisnis yang pengusahanya naik pesawat. Kemungkinan besar itu tidak terdampak.

Misalnya Jakarta-Surabaya adalah rute di mana 60% penumpang merupakan pelaku bisnis. Saya pernah 8 tahun menjadi sales representative maskapai penerbangan dan berkantor di Surabaya.

Saya paham betul penumpang dari Surabaya kebanyakan pebisnis kelas menengah ke atas yang sangat mementingkan kecepatan dalam setiap aktivitas mereka. Sifat ini inelastis terhadap harga tiket pesawat walau sedikit mahal.

Karakter kota-kota lain yang mirip dengan Surabaya dari sisi penumpang antara lain Semarang, Malang, Palembang, Pekanbaru, Medan, dan Batam. Rute-rute itu relatif aman terhadap ancaman jalan tol dan kereta api.

Lagipula di Indonesia ada potensi jumlah penumpang udara sebanyak 270 juta orang. Namun hingga saat ini baru sekitar 75 juta penumpang per tahun yang naik pesawat, lebih rendah dibandingkan angka sebelum pandemi Covid-19 sekitar 100 juta per tahun.

Artinya kekawatiran terhadap serangan ancaman transportasi darat seperti kereta api dan bus malam tidak boleh melemahkan semangat pebisnis maskapai penerbangan di tahun-tahun mendatang . Apalagi pada era sulit, Pandemi Covid-19, sudah lahir dua maskapai penerbangan yang baru, yaitu Super Air Jet dan Pelita Air.

Intinya saya ingin mengatakan dunia maskapai penerbangan niaga di Indonesia memang unik, anti teori. Artinya kejadian normatif di Italia dan Spanyol sangat tidak relevan akan terjadi di Indonesia.

Rekomendasi
Dengan potensi penumpang pesawat di Indonesia ada 270 juta orang yang bisa digarap, kemudian ada sekitar 100 lebih bandara dari kelas utama hingga perintis,  semua itu adalah nilai plus bisnis maskapai penerbangan di tanah air yang masih terbuka.

Untuk Pulau Jawa dan Pulau Sumatra, maskapai penerbangan harus meningkatkan kualitas layanan preflight, inflight, postflight, dan on time performacen. Tujuannya agar tidak ditinggal pelanggannya.

Ini mengingat penumpang dari kota-kota seperti Surabaya hingga Medan adalah pebisnis yang memerlukan pesawat tepat waktu berangkat dan kedatangannya di tempat tujuan. Demikian rasanya harapan yang harus bisa dikeola oleh maskapai selain juga tingkat keselamatan yang harus tetap
terjaga dengan baik .

Sumber: CNBC Indonesia

Share.
Exit mobile version