REPUBLIKA.CO.ID, YONAGUNI — Sonkichi Sakihara masih ingat bagaimana pengungsi terakhir tiba di Yonaguni. Pada tahun 1977 empat orang pria tiba di pulau berpenghuni di ujung barat Jepang itu setelah berlayar sejauh lebih dari 2.000 kilometer dari Vietnam.
“Saya sedang keluar untuk memeriksa penumpang gelap dari Taiwan ketika saya menemukan mereka,” kata Sakihara yang kini berusia 80 tahun, Senin (4/12/2023).
Ia mengatakan menemukan para pengungsi itu di dekat toko keluarganya di dekat pelabuhan. Empat orang itu merupakan bagian 113 orang Vietnam yang melakukan perjalanan keluar dari negara mereka setelah perang berakhir.
Saat ini, beberapa penduduk Yonaguni meramalkan krisis pengungsi lain. Warga setempat mengatakan pulau mereka yang terisolasi dan populasinya yang kurang dari 1.700 orang tidak akan mampu menanganinya.
Taiwan yang terkadang dapat dilihat dari Yonaguni hanya terletak hanya 110 kilometer dari pulau itu. Cina mengklaim pulau yang dikelola pemerintah demokratis itu bagian dari wilayahnya. Pulau dengan populasi 24 juta tersebut sudah menghadapi berbagai ancaman dari Beijing mulai dari simulasi serangan rudal dan berbagai pertunjukan kekuatan lainnya.
Kekhawatiran potensi konflik mendorong Jepang menaikan anggaran pertahanannya ke tingkat tertinggi sejak Perang Dunia II. Namun anggaran sebesar 290 miliar dolar AS tidak menyertakan persiapan bagi Yonaguni untuk menghadapi kemungkinan krisis kemanusiaan.
Sakihara mengatakan pulau itu dapat kewalahan menerima gelombang pengungsi. Lebih dari dua lusin pejabat dan mantan pejabat serta warga setempat mengatakan akan terdapat ratusan bila tidak ribuan orang yang akan tiba di Yonaguni bila Cina menyerang Taiwan.
Tokyo mengatakan mereka tidak memiliki rencana untuk menghadapi kemungkinan gelombang pengungsi dan permintaan warga meminta bantuan pemerintah belum dijawab. “Mulut mereka seperti dilakban,” kata walikota Yonaguni, Kenichi Itokazu, merujuk pada pemerintah pusat.
Pada papan pengumuman di balai kotanya terdapat daftar topan dan krisis lainnya yang pernah melanda pulau tersebut, termasuk kedatangan orang Vietnam.
Itokazu mengatakan ia sudah meminta bantuan secara langsung kepada Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Hirokazu Matsuno saat ia datang ke Yonaguni pada bulan Juli lalu. Namun tidak mendapat tanggapan.
Beberapa pejabat AS mengatakan Cina mungkin siap menginvasi Taiwan pada tahun 2027. Bulan lalu Pemimpin Cina Xi Jinping mengatakan kepada Presiden AS Joe Biden tidak ada rencana seperti itu, tetapi menjelang pemilihan presiden Taiwan pada 13 Januari mendatang ia meningkatkan tekanan pada pulau itu.
Wakil Presiden Lai Ching-te yang Beijing anggap sebagai separatis diperkirakan akan menang. Kementerian Luar Negeri Taiwan menolak untuk menjawab pertanyaan apakah mereka mendiskusikan rencana kontinjensi kemanusiaan dengan Jepang, namun mengatakan Taipei tidak akan bertindak gegabah atau tunduk pada paksaan Cina.
Seorang juru bicara Sekretariat Kabinet Jepang mengatakan “jika sejumlah besar pengungsi datang ke Jepang, departemen-departemen pemerintah yang relevan akan bekerja sama untuk meresponnya”.
Ia menolak memberikan komentar apakah ada rencana khusus untuk Yonaguni. Ia mengatakan ia tidak tahu apakah walikota pulau itu meminta bantuan Matsuno secara langsung.
Beberapa orang dari sembilan pejabat dan enam mantan pejabat yang diwawancarai kantor berita Reuters meminta tidak sebutkan namanya karena tidak berwenang memberikan komentar mengenai rencana darurat pada publik.
Mereka mengatakan meskipun para pengungsi Taiwan dapat melarikan diri ke Jepang melalui laut, sifat konflik dan jumlah yang akan datang sulit untuk diprediksi. Pemerintah Jepang tidak pernah menyebutkan secara terbuka tentang skenario seperti itu.
“Mungkin ada ratusan kapal, terlalu banyak bahkan untuk dihentikan oleh blokade Cina,” kata seorang pejabat Penjaga Pantai Jepang.
Ia menambahkan Sekretariat Kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Fumio Kishida dan dijalankan Matsuno, bertanggung jawab untuk menyusun rencana tersebut.
Para pejabat dan mantan pejabat menggambarkan pemerintah lebih fokus membangun kekuatan militer dibandingkan rencana merespons kemungkinan krisis kemanusiaan yang kompleks yang mencakup berbagai departemen, otoritas lokal, dan perusahaan.
Rencana itu mencakup menyaring, mengangkut, memberi makan, dan menampung pengungsi yang mungkin lebih banyak daripada yang pernah dihadapi Jepang.
Mengutip dari PBB, Migration Policy Institute mengatakan pada tahun 2022 terdapat sekitar 18.000 pengungsi berada di Jepang, sebagian besar berasal dari Myanmar. Definisi pengungsi PBB lebih luas dari pada definisi pemerintah Jepang.
Di tengah konflik di Eropa dan Timur Tengah, Jerman memiliki lebih dari 2 juta pengungsi dan Polandia hampir satu juta, kebanyakan dari Ukraina.
Mantan kepala bidang wilayah Jepang Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) yang kini bersama NMV Consulting, Kevin Maher mengatakan Tokyo memiliki keputusan politik yang harus diambil apakah akan menerima pengungsi dalam jumlah yang signifikan.
“Jepang enggan menerima pengungsi dalam jumlah besar, namun apapun kebijakannya, kenyataannya hampir semua orang yang mengapung akan menuju Jepang,” kata Maher.
Sumber : REPUBLIKA