Jakarta (ANTARA) -Deputi Sekretaris Jenderal bidang Politik dan Keamanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN, Matheus Michael Tene mendorong program dialog lintas agama dan budaya terus dilakukan untuk mempromosikan kekayaan budaya ASEAN.
“ASEAN perlu terus memperkuat program-program dialog antaragama dan antarbudaya, serta rancangan inisiatif untuk mempromosikan penghormatan dan dialog antarbudaya,” kata Tene dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (14/11).
Konferensi Literasi Keagamaan Lintas Budaya digelar oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI bersama Institut Leimena di Jakarta pada Selasa.
Ia menyayangkan berbagai tindak intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau kepercayaan yang belakangan semakin sering terjadi.
“Kawasan ASEAN mengakui pluralisme dan telah menetapkan kesetaraan ras dan kebebasan berkeyakinan sebagai hak-hak hukum konstitusional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tatanan sosial masyarakat majemuk telah terpukul di banyak tempat,” ujar dia.
Untuk itu, Tene menegaskan pentingnya mendorong dialog dan pemahaman antarbudaya demi melindungi minoritas dan memerangi ujaran kebencian, serta yang utama yakni menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan pendekatan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) sejalan dengan strategi Komunitas ASEAN untuk mendukung visi pasca 2025 menuju ASEAN 2045.
Menurutnya, program LKLB yang digelar di Indonesia telah menarik minat negara-negara lain seperti Afrika Selatan, Uzbekistan, Kazakhstan, Belanda, Amerika Serikat, dan Vietnam.
“Memang selama dua tahun program ini berjalan, kami mendapat undangan ke berbagai negara di luar untuk memperkenalkan LKLB. Mereka ingin mengetahui bagaimana program ini dijalankan di Indonesia,” kata Matius.
Ia mengemukakan, LKLB mengajak masyarakat untuk saling menghargai keberagaman dan menjunjung tinggi martabat manusia. Program LKLB mengambil pendekatan praktis untuk membantu masyarakat, khususnya para pendidik, agar memiliki kompetensi dalam menjalin relasi dengan orang berbeda agama.
Menurutnya, literasi keagamaan lintas budaya melampaui arti dari toleransi karena masyarakat didorong memiliki kompetensi dan mampu saling berkolaborasi dengan mereka yang berbeda agama.
“Ketika orang yang berbeda saling bekerja sama dengan damai, maka perlahan rasa saling percaya juga akan terbangun, dan lebih jauh lagi kita harus berkolaborasi. Terkadang, kita hanya membiarkan seseorang yang tidak kita sukai, tetapi kalau kita sampai berkolaborasi, artinya kita bisa menjangkau orang yang berbeda,” ujar Matius.
Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya digelar pada 13-14 November 2023 dalam rangka peringatan 75 tahun Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh pada 10 Desember, dengan melibatkan 30 narasumber terkemuka dari dalam dan luar negeri.
Sumber : ANTARANEWS