JAKARTA, KOMPAS — Tren kenaikan suku bunga di negara maju pascapandemi Covid-19 membuat banyak ekonomi negara-negara di dunia terguncang. Namun, tidak dengan negara-negara Asia Tenggara. Peningkatan nilai tambah dari produk ekspor dan digitalisasi menjadi dasar kekuatan negara dalam persekutuan ASEAN, termasuk Indonesia.
Ekonom senior United Overseas Bank Limited (UOB), Enrico Tamuwidjaja, menjelaskan, di tahun keempat pascapandemi Covid-19, konsumsi masyarakat dunia terus meningkat dan mengakibatkan kenaikan inflasi. Sayangnya, ini belum bisa diimbangi kuantitas produksi atau penyediaan barang. Untuk mengendalikan hal ini, banyak negara di dunia, khususnya negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, menaikkan suku bunga mereka.
”Era suku bunga tinggi akan berlangsung cukup lama, sepanjang 9-12 bulan ke depan. Namun, ASEAN tetap tangguh dan punya resiliensi. Perekonomian ASEAN tidak perlu menaikkan suku bunga secara drastis,” ujar Enrico dalam konferensi pers UOB Gateway to ASEAN Conference 2023 di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Tren suku bunga tinggi ini memang memukul perdagangan ekspor dan impor belasan negara ASEAN di 2023 setelah bangkit dari krisis pandemi Covid-19 di 2020 dan 2021. Namun, data menunjukkan, kejatuhan ekonomi yang dipengaruhi perdagangan eksternal tidak sedalam di krisis ekonomi global tahun 2008 dan 2015.
Menurut Enrico, hal ini ditopang sepuluh sektor komoditas perdagangan unggulan ASEAN. Di antara yang teratas adalah produk dari sektor mesin dan kebutuhan kelistrikan yang unggul di Singapura, Malaysia, dan Thailand. Lalu, ada Indonesia dengan komoditas mineral, agrikultur, dan karet.
”Untuk lebih tangguh, sektor-sektor utama penopang ekonomi ini harus dilihat dengan paradigma baru. Kalau enggak kita akan melihat, begitu ada guncangan global ini akan kembali merosot,” katanya.
Khusus Indonesia, Enrico menganalisis, program hilirisasi sejumlah industri produk ekspor strategis, seperti produk tambang nikel, sejak sepuluh tahun terakhir, mampu menambah kekuatan ekonomi. Tidak berhenti di sana, Indonesia harus mempercepat hilirisasi di produk tambang mineral lainnya. ”Sudah saatnya kita juga maju ke sektor bauksit, mangan, tembaga, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Selain itu, Indonesia juga dinilai dapat berfungsi sebagai pusat produksi utama bagi kawasan, termasuk sebagai pusat e-dagang dan jasa. Indonesia diperkirakan dapat menghasilkan pasar e-commerce terbesar di ASEAN senilai 600 miliar dollar AS pada tahun 2025 dan tahun-tahun mendatang.
Wholesale Banking Director UOB Indonesia Harapman Kasan pada kesempatan sama mengatakan, ini momentum baik untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi investasi. Perbankan seperti UOB pun melihat peluang untuk menghubungkan nasabah antar negara dan menjadi katalis pertumbuhan.
”Kita bisa mengoneksikan pelaku bisnis sesama di negara ASEAN dan Asia, terutama China. Dengan demikian, kita harapkan investasi ke ASEAN tumbuh sebagaimana resolusi di KTT ASEAN kemarin,” katanya.
Upaya ini salah satunya akan UOB lanjutkan dengan mengadakan UOB Gateway to ASEAN Conference bertajuk ”ASEAN Forging Ahead” pada Rabu, 11 Oktober 2023, di Hotel Raffles Jakarta.
Acara ini merupakan konferensi regional tahunan yang diinisiasi oleh UOB untuk mempertemukan para pemimpin bisnis, pemerintah, dan mitra dagang, serta pakar dalam berbagai bidang untuk mengeksplorasi peluang pertumbuhan dan investasi bagi perusahaan yang melakukan bisnis antar/dengan kawasan ASEAN.
Harapman optimistis acara ini akan diramaikan oleh peserta baik dari dalam maupun luar negeri dengan target 600 partisipan.
”Beberapa hal yang kita bicarakan di acara ini adalah bagaimana mendorong hilirisasi yang memang program pemerintah, juga digitalisasi yang membantu perekonomian secara lebih efisien kaitannya dengan UMKM, dan mengoneksikan nasabah di antara sesama ASEAN untuk melihat peluang yang ada di sesama ASEAN,” tuturnya.
Sumber : KOMPAS