Jakarta, CNBC Indonesia – Beberapa bank sentral utama di seluruh dunia diketahui masih akan menerapkan kenaikan suku bunga dalam rangka melawan tekanan inflasi serta pemulihan ekonomi setelah terhantam pandemi Covid-19.
Misalnya seperti Federal Reserve (The Fed) yang menaikkan tingkat suku bunga Fed Fund Rate (FFR) ke kisaran 5,25-5,5% pada Juli 2023 lalu. The Fed bahkan diprediksi masih akan menaikan suku bunga, seiring ketatnya likuiditas dan pertumbuhan ekonomi AS yang masih melandai.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara mengatakan pemulihan yang terlalu cepat menyebabkan kenaikan harga barang yang signifikan sehingga memicu inflasi. Inflasi yang meningkat berdampak pada kenaikan suku bunga acuan oleh para bank sentral.
“Suku bunga mulai naik di 2022 baik global maupun Indonesia setelah turun tajam saat covid di 2020. 2022 itu normalisasi suku bunga global,” ucapnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (22/8/2023).
Kenaikan suku bunga ini jelas meningkatkan risiko pertumbuhan ekonomi yang lamban dan berkepanjangan meskipun kemungkinan untuk mencegah resesi langsung tetap ada. Bahkan, beberapa negara dan kawasan di dunia terkena dampaknya dan terseok-seok mempertahankan keberlangsungan ekonominya.
Meski begitu, ada juga beberapa negara yang masih berdiri kuat di tengah tantangan ini, seperti negara-negara kawasan ASEAN. Hal ini terlihat dari komitmen pada para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN untuk menjaga stabilitas keuangan dan memajukan integrasi keuangan.
Hal itu dibuktikan dalam rangkaian Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke 43 pada 5-7 September lalu melalui didorongnya ekonomi digital di kawasan. Digital Economy Framework Agreement menjadi andalan ASEAN yang disepakati dalam KTT tersebut.
“Apabila DEFA diberlakukan di tahun 2025, ini akan meningkatkan potensi ekonomi digital ASEAN yang business as usual itu US$ 1 triliun tetapi dengan implementasi DEFA meningkat menjadi US$ 2 triliun di tahun 2030,” kata Airlangga.
Komitmen ini pada akhirnya akan berdampak pada ASEAN yang tetap stabil di tengah prospek ekonomi yang tidak menentu (uncertain), yang dapat berdampak pada momentum pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN.
Beberapa lembaga keuangan, termasuk perbankan, juga memandang ASEAN tetap kuat menghadapi tantangan ini. Misalnya saja United Overseas Bank (UOB) yang mengungkap bahwa ASEAN telah terbukti tangguh di tengah risiko resesi tersebut.
Senior Economist UOB, Enrico Tanuwidjaja mengatakan ketahanan perekonomian ASEAN akan membantu kawasan ini tetap kuat di tengah ancaman resesi di AS, Inggris, dan Eropa, pengetatan kondisi keuangan, semakin tegangnya hubungan AS-Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina, dan masih banyak lagi.
“Tahun lalu, pertumbuhan PDB sebagian besar negara mengalami peningkatan yang kuat pada kuartal kedua dan ketiga, didukung oleh permintaan ekspor dan peningkatan permintaan domestik karena sebagian besar pembatasan COVID-19 telah dicabut,” kata dia.
Dengan produk domestik bruto (PDB) sebesar USD3,36 triliun, ASEAN tercatat menjadi kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia.
Penghapusan pembatasan COVID-19, lanjutnya, serta pembukaan kembali perekonomian domestik di seluruh ASEAN sejak pertengahan tahun 2022 menambah momentum pemulihan seiring dengan melonjaknya arus pengunjung dan sektor jasa yang pulih kembali. Faktor-faktor tersebut diharapkan menjadi penopang utama berbagai perekonomian ASEAN pada tahun ini.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo pun menyatakan untuk merealisasikan dan makin mendorong berbagai peluang ekonomi yang ada di ASEAN tersebut, setiap anggota negara harus bekerja sama secara kolaboratif dan kooperatif.
Karena ia melihat ASEAN secara kolektif memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabilitas makroekonomi. Misalnya, ekonomi ASEAN-5 (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) yang tercatat tumbuh sebesar 5,3% tahun lalu, dan secara kolektif diperkirakan menjadi 4,6% tahun ini dan meningkat menjadi 5,6% pada tahun 2024.
Pertumbuhan ini diyakini akan terus berlanjut meski sejumlah tantangan masih menghantui, seperti perekonomian global, suku bunga tinggi, inflasi, serta ketidakpastian keuangan global.
“Kita harus memanfaatkan keahlian dan pengalaman kolektif kita untuk mengembangkan kebijakan dan langkah-langkah yang mempromosikan ketahanan ekonomi, keberlanjutan, dan inklusi,” ujar Perry dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN.
Hal ini juga sejalan dengan visi mendukung integrasi ekonomi seiring dengan UOB, One Bank for ASEAN, yang terus mendukung bisnis lintas regional, dengan membangun jaringan yang komprehensif untuk akses dan peluang bagi dunia usaha untuk tumbuh di kawasan regional.
Saat ini, UOB memiliki eksistensi yang tak tertandingi di Asia Tenggara yang didukung oleh jaringan global lebih dari 500 kantor dan didukung berbagai layanan keuangan. Untuk mengetahui informasi selengkapnya tentang investasi dan kondisi ekonomi terkini di Indonesia hingga ASEAN, kunjungi halaman UOB.
Sumber : CNBCIndonesia