Informasi beralihnya para pengembang perkebunan ke Papua itu diperoleh media ini dari Edi Suhardi, analis minyak sawit berkelanjutan. Menurut Edi, meningkatnya minat terhadap pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua merupakan peluang sekaligus tantangan. Mengingat pengembangan perkebunan kelapa sawit di Papua telah membuka daerah-daerah yang terisolasi.
Juga memfasilitasi pembangunan infrastruktur, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, ketergantungan masyarakat adat terhadap hutan untuk mata pencarian mereka dan kurangnya pengetahuan tentang cara membudidayakan kelapa sawit menjadi hambatan bagi keterlibatan masyarakat Papua secara efektif dalam industri ini.
Selain itu, keraguan perusahaan untuk menerapkan perkebunan inti dan plasma semakin membatasi keterlibatan masyarakat lokal dan meningkatkan ketidaksetaraan, yang sering kali mengarah pada ketegangan dalam proses pembebasan lahan dan keluhan atas kompensasi yang rendah.
“Banyaknya pekerja migran yang didatangkan untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit juga menjadi sumber konflik dengan penduduk lokal,” ungkap Edi, kemarin (10/4). Ekspansi perkebunan yang dipercepat dan sering kali berlebihan di bawah otonomi daerah juga bisa menyebabkan deforestasi dan dampak lingkungan yang merugikan, seperti penurunan kualitas air, polusi udara, dan erosi tanah.
Selain itu, kurangnya pengawasan publik dan media terhadap pembangunan di Papua dan jauh dari pengawasan pemerintah pusat di Jakarta, telah membuat situasi menjadi tidak terkendali. Sebelum kerusakan semakin parah, kata Edi, pemerintah pusat perlu segera turun tangan dan memperkenalkan rencana pembangunan berkelanjutan yang setara dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
“Papua adalah wilayah yang paling terbelakang di Indonesia dan membutuhkan program pembangunan sosial-ekonomi yang telah teruji dengan baik yang akan memungkinkan kelapa sawit memberikan manfaat bagi populasi Papua yang besar dan menjaga perdamaian yang langgeng di wilayah tersebut,” bebernya.
Mengutip data dari World Resources Institute (WRI) tahun 2021, Papua memiliki total luas 41,3 juta hektare, di mana 36 juta hektare di antaranya hutan, setara dengan 87 persen dari luas daratan di wilayah tersebut. Papua, yang sejauh ini memiliki wilayah hutan terluas, dianggap sebagai wilayah khusus yang dikenal sebagai Lanskap Tutupan Hutan Tinggi (High Forest Cover Landscapes/HFCL); HCSA (Pendekatan Stok Karbon Tinggi) adalah istilah yang dibuat untuk merujuk pada wilayah dengan lebih dari 80 persen wilayah hutan.
Sementara itu, menurut Kementerian Pertanian, terdapat 29 konsesi kelapa sawit di Papua, yang mencakup 225.000 hektare atau 0,5 persen dari luas daratan Papua. Ini adalah bagian yang sangat kecil dari luas perkebunan nasional yang mencapai sekitar 16,38 juta hektare.
Sumber : Kaltim Prokal